Oleh: Dr. Erwanto (Dosen Fakultas Pertanian Unila & Anggota DRD Lampung) dan Dr. Irmayani Noer (Dosen Jurusan Ekbis Prodi Agribisnis dan Ketahanan Pangan Polinela)
Ubikayu adalah salah satu komoditas pertanian yang menjadi tumpuan harapan petani di Lampung. Tahun 2018, kontribusi produksi ubikayu Lampung mencapai 34,6% dari total produksi nasional. Produksi ubikayu Lampung pernah mencapai 9,2 juta ton tahun 2011. Namun, selama puluhan tahun komoditas ini luput dari perhatian serius kita, sehingga ubikayu lebih sering memunculkan masalah ekonomi dan kegaduhan ketimbang mendatangkan kesejahteraan.
Sudah saatnya ubikayu mendapat perhatian dan diangkat menjadi komoditas harapan daerah. Dua alasan utama mendasari hal ini. Pertama, ubikayu adalah komoditas pilihan petani di Lampung. Banyak petani Lampung
passion-nya adalah bercocok tanam ubikayu. Mengimbau mereka pindah komoditas tidaklah sederhana.
Kedua, produk ubikayu kian strategis perannya sebagai bahan baku industri hilir (pangan, energi, pakan ternak, kosmetika, farmasi, material maju, dll.). Di negara-negara penghasil ubikayu dunia, komoditas ini mulai diorbitkan sebagai komoditas harapan.
Siklus kemelut agribisnis ubikayu di Lampung dipicu oleh sistem agribisnis yang tidak terkelola dengan baik. Interaksi antar pelaku atau partisipan di dalam sistem (petani, pedagang, petualang, dan pabrikan) terkesan berlangsung tanpa rambu-rambu atau aturan main yang jelas. Mungkin ini layak disebut ”interaksi gaya bebas”, di mana antar partisipan saling menegasi. Akibatnya tentu saja akan ada pihak-pihak yang dirugikan dan ada pihak-pihak yang tidak mendapatkan untung banyak.
Jika agribisnis ubikayu di Lampung ditata dengan baik, dalam arti dibangun sinergi antar partisipan dan didorong penerapan
good agriculture practices, maka produksi ubikayu Lampung diprediksi bisa meningkat menjadi belasan juta ton/tahun. Artinya selama ini ada
opportunity loss dalam agribisnis ubikayu, yang apabila bisa diraih akan mendatangkan hasil (
gain) signifikan. Solusi kemelut komoditas ubikayu dalam jangka panjang adalah dengan menata sistem agribisnisnya.
Jika dirinci permasalahan yang dihadapi petani ubikayu cukup banyak, antara lain: modal, sarana produksi, bibit unggul, pemasaran hasil, harga produk, dll. Pada sisi lain industri tapioka juga menghadapi permasalahan, antara lain: stabilitas pasokan bahan baku (musiman) sehingga pabrik sering bekerja jauh di bawah kapasitas; kualitas bahan baku; dll. Eksistensi rangkaian permasalahan tersebut seolah abadi yang menyebabkan agribisnis ubikayu sering bergejolak. Harus ada inisiatif cerdas untuk menghadirkan solusi bagi semua pihak.
Sebagian besar masalah yang dirinci di atas dapat diatasi dengan membangun
partnership antar para pelaku agribisnis ubikayu. Sumberdaya agribisnis ubikayu Lampung harus dikonsolidasikan untuk meraih
economic opportunity yang ada di depan mata. Sejatinya para pelaku agribisnis ubikayu haruslah dipandang sebagai
resources bukan biang kerok, termasuk industri tapioka. Para petani ubikayu harus dikonsolidasikan dalam kelompok tani atau gabungan kelompok tani untuk memudahkan pembinaan dan pengelolaan. Petani yang terkonsolidasi dalam gapoktan di suatu wilayah kelak dihubungkan dengan industri tapioka dalam suatu skema kluster kerjasama
partnership (lihat gambar).

Klaster
partnership agribisnis ubikayu berkelanjutan.
Suatu kluster kerjasama
partnership agribisnis ubikayu harus diinisiasi, dirancang, dan dibentuk secara partisipatif. Kemudian dibina dan diawasi oleh suatu lembaga independen yang kuat dan kredibel, yang mampu menjalankan fungsi-fungsi pembinaan, edukasi, negosiasi, dan pengawasan. Terbayang bahwa lembaga pengelola
partnership ini bisa berupa konsorsium beranggotakan pihak-pihak yang relevan, dipimpin oleh perguruan tinggi.
Program kerja lembaga
partnership cukup luas, mencakup antara lain: membangun kesepakatan bisnis antara gapoktan dengan industri (terkait pasokan ubikayu, standar kualitas, rafaksi, harga, dll.); melakukan pembinaan, edukasi, dan pendampingan kepada petani (dengan menurunkan mahasiswa,
fresh graduate, dosen, dan penyuluh) terkait penerapan
good agriculture practices dan memenuhi standar kualitas; melakukan pembinaan, edukasi, dan negosiasi kepada industri; mengemas paket teknologi inovatif hulu-hilir untuk peningkatan kinerja agribisnis; penyusunan rencana produksi dan jadwal tanam; berkoordinasi dan memberi masukan kepada pemerintah terkait regulasi dan stimulus; mengemas skema akses pembiayaan, akses sarana produksi, pemasaran, dan hal lain secara kolektif; secara berkala mengevaluasi perkembangan
partnership; serta hal lain yang diperlukan.
Muncul pertanyaan, bagaimana membangun dan membiayai lembaga
partnership? Ada baiknya pembentukan lembaga
partnership ini diinisiasi oleh perguruan tinggi yang kapabel. Perguruan tinggi dipandang masih memiliki kredibilitas, cenderung bersifat netral, memiliki sumberdaya cukup, bisa
long lasting, serta memiliki akses luas berkolaborasi dengan pihak-pihak yang relevan. Lembaga
partnership berupa konsorsium yang dipimpin perguruan tinggi memerlukan dukungan biaya operasional yang besar. Pada tahap awal, pemerintah dan industri tentu harus rela berinvestasi. Setelah
partnership berkembang dan diperoleh peningkatan hasil yang signifikan, maka
partnership akan mampu membiayai dirinya sendiri.
Pada berbagai praktik
partnership bisnis sering muncul kasus pelanggaran oleh partisipan terhadap ketentuan dan kesepakatan. Pelanggaran tentu dilatarbelakangi oleh lemahnya integritas dan adanya celah untuk melakukan kecurangan. Saat ini, pada banyak aspek kehidupan permasalahan sejenis secara bertahap dan sistematis dapat diatasi dengan penerapan sistem tata kelola berbasis teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Lembaga
partnership harus diperkuat oleh sistem tata kelola berbasis ICT yang mantap, sedemikian rupa sehingga tidak ada pilihan lain dari partisipan selain mematuhi sistem.
Gagasan di atas tentu belum bisa membumi. Perlu serial diskusi panjang untuk memperkuatnya. Melihat tingkat kesulitan yang tinggi, maka diperlukan
strong leadership yang mampu membangun partisipasi, lihai memimpin
orchestra, dan juga sesekali tegas seperti wasit
premier league. Banyak teman akademisi yakin pendekatan
partnership ini bisa diwujudkan. Mungkin kita bisa mencoba untuk
exercise dulu di satu klaster saja, untuk meyakini apakah kita mampu mewujudkan model
partnership ini. Semoga ubikayu Lampung segera berbalik membawa berkah dan membangkitkan ekonomi kerakyatan. Kita berharap kelak jauh di pelosok tiyuh, kampung, pekon, atau anek mulai terdengar
orchestra: “di sini senang di sana senang”.
Selamat Ulang Tahun Lampung. Tabik Pun! (*)